IMPLEMENTASI FUNGSI LEGISLASI DPRD DALAM MEMBENTUK PEMERINTAHAN YANG BAIK

 

IMPLEMENTASI FUNGSI LEGISLASI DPRD

DALAM MEMBENTUK PEMERINTAHAN YANG BAIK

(Good Governance)

Agus Malkan

Agus.malkan12@gmail.com

DPRD Di Dalam Membentuk pemerintahan yang baik Menurut UU No.32 Tahun 2004 Sebagai ringkasan, komponen- komponen utama dalam penilaian kapasitas DPRD di dalam mengimplementasikan prinsip good and clean governance di kabupaten Cirebon yang ditetapkan sebagai berikut :

 

Pelaksanaan fungsi legislasi dalam pembuatan peraturan perundang- undangan dan kebijakan lain.

Berdasarkan amandemen I dan II pasal 20 ayat (1) UUD 1945, dewan perwakilan rakyat memegang kekuasaan membentuk undang- undang. Pasal 21 ayat (1) UUD 1945, anggota-anggota dewan perwakilan rakyat berhak mengajukan usul rancangan undang-undang. Dalam konteks daerah juga berlaku demikian yaitu dewan perwakilan rakyat daerah memegang kekuasaan membentuk peraturan daerah dan anggota dprd berhak mengajukan usul rancangan peraturan daerah. Dalam pelaksanaannya rancangan peraturan daerah dari lingkungan DPRD diatur dalam UU no.32 tahun 2004 tentang 61 pemerintahan daerah pasal 136 sampai pasal 149. Secara umum dapat disimpulkan bahwa para anggota DPRD maupun pelaku tata pemerintahan di luar DPRD merasa kapasitas dan kinerja dalam aspek legislasi tidak memuaskan. Dalam hal ini pembuatan perda inisiatif, alat kelengkapan DPRD pada umumnya belum memahami tahapan minimal yang perlu dipenuhi tahapan menimal tersebut meliputi :[1]

  • Identifikasi dan perumusan masalah publik yang strategis;
  • Perumusan agenda penyusunan perda inisiatif;
  • Penyusunan draf akademis untuk masing-masing agenda perda yang direncanakan;
  • Penyusunan draf legislasi sehingga berbentuk raperda;
  • Konsultasi publik tentang raperda yang sedang disusun atau telah diselesaikan;
  • Pemprosesan draf raperda menjadi raperda sesuai dengan prosedur internal DPRD;
  • Pemprosesan raperda sehingga disetujui menjadi perda;
  • Pendelegasian perda kepada pemerintah daerah untuk dilaksanakan;
  • Pengecekan konsistensi dan harmoni dengan tata urutan Perundang-undangan yang lebih tinggi;
  • Revisi atau pembatalan jika memang sesuai dengan kebutuhan dan keputusan politik yang lebih tinggi.

Dalam penyusunan perda inisiatif, alat kelengkapan DPRD yang ditugasi pada umumnya langsung mendengarkan aspirasi masyarakat atau merumuskan agenda politik daerah dan langsung menyusun draf raperda. Oleh karena itu, perda yang dihasilkan seringkali mengalami masalah, baik karena tidak dapat diterapkan oleh pemerintah daerah, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, atau ditolak oleh masyarakat. kapasitas teknik dalam penyusunan perda inisiatif yang relatif rendah terbukti dengan minimal atau tidak adanya perda inisiatif bermutu yang dihasilkan oleh DPRD. Kinerja seperti ini tentu mendapatkan penilaian negatif dari masyarakat.

Dalam melaksanakan fungsi legislasi, sebagian besar DPRD menyandarkan pada usulan-usulan raperda yang dibuat oleh pemerintah daerah. Terhadap usulan-usulan ini, sebagian besar DPRD mengaku tidak mampu memberikan telaah-telaah yang dapat mengimbangi argumentasi yang disampaikan oleh pemerintah daerah. Pada umumnya, DPRD akan melaksanakan prosedur standar untuk menindaklanjuti usulan raperda pemerintah dan memutuskannya menjadi perda untuk dilaksanakan. Jika dipandang perlu, DPRD akan mengundang kelompok-kelompok strategis dalam masyarakat untuk memberikan masukan. Ringkasnya, keterbatasan DPRD dalam melakukan analisis kebijakan menjadikan lembaga ini tidak mampu memberikan tanggapan dan rekomendasi kebijakan yang memuaskan, bahkan untuk kalangan DPRD sendiri. Pelatihan- pelatihan teknis dalam legislative drafting yang diperoleh selama ini dinilai tidak dapat memberikan banyak dukungan dalam penyusunan dan penyelesaian peraturan perundang-undangan di daerah.

 

Pelaksanaan fungsi anggaran dalam penganggaran daerah.

Penganggaran  sebagai  salah  satu fungsi eksplisit DPR dan DPRD merupakan  baru  dalam  tata keparlemenan di Indonesia. Sebelum reformasi, lembaga legislatif hampir tidak mampu memberikan tanggapan terhadap  RAPBN/RAPBD  yang disampaikan  oleh  pemerintah, bahkan  untuk  merubah  angka.[2] Lembaga legislatif berfungsi sebagai tukang  stempel  terhadap RAPBN/RAPBD yang diusulkan oleh

pemerintah. Dalam  membahas  RAPBD yang disampaikan oleh pemerintah daerah, DPRD belum mendasarkan pada  elemen-elemen  dasar  bagi penyusunan anggaran. Elemen dasar yang pertama adalah pertimbangan konteks anggaran yang bersumber dari : [3]

  • Program partai yang dijanjikan pada pemilih selama Pemilu;
  • Peraturan Perundang-undangan sektoral nasional dan daerah; dan
  • Prioritas-prioritas administrasi pemerintahan dan program-program pembangunan daerah.

Ketiga elemen ini membentuk kerangka dasar bagi penelaahan RAPBD yang diusulkan oleh pemerintah daerah. Karena kerangka dasar seperti ini tidak dirumuskan dan ditentukan terlebih dahulu, hampir semua DPRD menyebutkan bahwa mereka juga tidak  mempunyai  analisis  dasar terhadap  masing-masing  mata anggaran sektoral yang disampaikan pemerintah daerah. Padahal analisis kebijakan sektoral dasar seperti ini. penting sekali bagi para anggota panitia anggaran dan anggota-anggota lain dalam menanggapi berbagi usulan yang disampaikan oleh Pemerintah. Analisis  sektoral  untuk  masing- masing  mata anggaran kemudian dicerminkan terhadap kerangka dasar yang  telah  disusun  sebelumnya. Dengan mekanisme ini, pembahasan subtantif terhadap RAPBD dengan seluruh  komponennya  menjadi mungkin  dilaksanakan  dan pertimbangan-pertimbangan  yang lebih  bersifat  politis-ekonomis dikesampingkan  atau  setidaknya mempunyai bungkus kebijakan yang elegan.

Karena praktek-praktek justru menunjukan  bahwa  perimbangan politik mengemuka, DPRD seringkali mendapat kritik pedas dari publik sebab  dinilai  sekedar memperjuangkan kepentingan anggota secara perorangan atau kelompok pendukungnya.  Ketika  berhadapan dengan pemerintah daerah, DPRD melakukan pengkajian melalui dua tingkat, yaitu pembahasan bersama dengan kepala pemerintahan atau dengan mengundang instansi terkait jika dirasa perlu.

DPRD terutama yang dari panitia anggaran, telah mendapatkan pelatihan  atau  sosialisasi  tentang anggaran  kinerja  (performance budgeting). Pelatihan ini dinilai sangat bermanfaat  bagi  anggota  DPRD, karena mereka mempunyai kapasitas yang baik dalam menanggapi RAPBD yang  diusulkan  oleh  pemerintah daerah.  Namun  demikian  semua Anggota DPRD menyatakan bahwa pelatihan tersebut tidak mencukupi dibandingkan dengan kebutuhan untuk melaksanakan fungsi penganggaran yang bermutu dan memuaskan semua pihak. Salah satu indikasi  yang disebutkan adalah hingga kini DPRD belum mampu menyajikan RAPBD bandingan,  yang  dirumuskan berdasarkan pada kerangka dasar kebijakan  penganggaran  dan pembiayaan daerah. Lebih kurang menguntungkan lagi, beberapa DPRD justru  menyerahkan  kabijakan penganggaran  kepada  pemerintah daerah,  sejauh  kepentingan pembiayaan  DPRD  dan  politik ekonomi lainnya terpenuhi. Beberapa  anggota  DPRD menyebutkan  bahwa  mekanisme penganggaran  dan  pembiayaan kelembagaan internal DPRD pun membutuhkan upaya perbaikan dan penyempurnaan. Berdasarkan pada kesepakatan  antara  DPRD  dan pemerintah daerah, sejumlah anggaran tertentu dialokasikan bagi DPRD dan struktur pendukung yang ada, agar dapat melaksanakan semua fungsi dan tugas yang ditentukan. Anggaran ini dikelola  oleh  sekretariat  DPRD. Walaupun  DPRD  mempunyai kewenangan yang begitu besar dalam penganggaran, namun hampir semua anggota  DPRD  mengeluhkan minimnya  anggaran  yang  dapat disediakan oleh pemerintah daerah untuk DPRD. Hal ini disebutkan sebagai alasan dasar mengapa DPRD tidak mampu melaksanakan semua fungsi  dan  tugasnya  secara memuaskan.

Pelaksanakan fungsi pengawasan terhadap keseluruhan kebijakan pemerintahan daerah dan berbagai program-program pembangunan daerah.

Pelaksanaan fungsi pengawasan sering memicu persoalan karena tidak ada batasan yang  jelas.  Pengawasan  adalah penerjemahan dari oversight, yang berbeda  dengan  pengendalian (control),  pengawasan  teknis (supervision), pengawasan langsung (inspection),  pemeriksaan  (audit), penyidikan  (investigation),  atau pengujian (examination). Karena tidak ada definisi dan batas yang jelas itulah, DPRD sering bertindak di luar kewenangannya dan masuk ke daerah kewenangan lembaga pemerintahan yang lain. Hal ini sering dikritik baik oleh pemerintah daerah, media lokal atau pun lembaga masyarakat sipil. Pelurusan  dan  penyesuaian  tentu diperlukan  agar  DPRD  mampu melaksanakan fungsi ini dengan tepat dan efektif.

Pada tingkat pertama, DPRD melakukan  pengawasan  terhadap pelaksanaan Perda dan kebijakan- kebijakan  Pemerintahan  dan pembangunan nasional di daerah. Fungsi ini tampaknya justru paling jarang dilaksanakan karena beberapa alasan. Pertama, DPRD merasa bahwa kebijakan tertentu adalah wewenang pemerintah pusat,  misalnya  yang berkenaan dengan manajemen sektor kehutanan. Padahal DPRD dalam posisi untuk mendukung pengawasan atas  implementasi  kebijakan  ini. Kedua, berbagai peraturan Perundang- undangan dan kebijakan nasional harus diterjemahkan ke dalam Perda. Pelaksanaan pengawasan Perda juga dirasakan kurang memenuhi harapan, karena  DPRD  menganggap pelaksanaan oleh pemerintah daerah sudah mencukupi.

Pada tingkat kedua, DPRD dapat  mengawasi  pelaksanaan program  pemerintahan  atau pembangunan tertentu, jika hal ini dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan kebijakan nasional dan daerah. Pelaksanaan program  semacam  ini  dinilai mempunyai dampak kebijakan atau politik yang serius. Pengawasan pada tingkat  program ini  seringkali menimbulkan problematik dan rentan terhadap politisasi. Oleh karena itu, konsultasi  seksama  dengan pemerintah daerah diperlukan sebelum pelaksanaan pengawasan seperti ini.

Pengawasan  pada  tingkat kegiatan atau proyek pun sebenarnya dapat dilakukan oleh DPRD, dengan beberapa alasan. Pertama, DPRD melihat indikasi penyimpangan serius dalam pelaksanaan suatu proyek dan pemerintah daerah tidak melakukan tindakan korektif. Kedua, proyek itu bertentangan dengan atau berdampak buruk terhadap peraturan perundang- undangan, kebijakan atau program pemerintahan  dan  pembangunan. pengawasan pada tingkat ini diakui paling sering dilakukan karena dinilai yang paling mudah. DPRD pada awalnya mendasarkan pada laporan masyarakat mengenai penyimpangan proyek. Jika memang terbukti adanya penyimpangan  serius,  DPRD melakukan peninjauan langsung ke proyek,  membahasnya  dengan pemerintah  daerah  atau  meminta keterangan lanjutan dari pelaksana proyek.

Dalam  hal  pelaksanaan pengawasan, dalam implementasinya terdapat kecenderungan bahwa fungsi pengawasan yang dilakukan DPRD sudah menyangkut penyelenggaraan pemerintahan.  Seyogianya  hak pengawasan DPRD hanya terbatas pada  aspek  kebijakan,  bukan menyangkut  aspek  teknis penyelenggaraan  pemerintahan. Dengan perkataan lain, pengawasan yang dilakukan lebih bersifat politis, bukan bersifat administartif.[4]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

[1] Agung Djojosoekarto, Dinamika dan Kapasitas DPRD dalam Tata Pemerintahan Demokratis, hal. 296-297.

[2] B.N.Marbun, DPR RI Pertumbuhan dan cara Kerjanya, Jakarta,1999, hal. 252.

[3] Agung Djojosoekarto, Op.cit, hal. 298

[4] Haw Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi Daerah Di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 55

Scroll to Top